Apa yang harus dilakukan BPOM?
Balai Pengawasan Obat dan Makanan seharusnya mengawasi.
Kata "pengawasan" merupakan kata yang bersifat aktif.
Kata "pengawasan" adalah kata benda yang berarti penilikan dan penjagaan; penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan, aturan, ketentuan.
BPOM-dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001 yang bertugas di bidang pengawasan obat dan makanan, dengan kewenangannya antara lain pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat Badan POM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Fungsi dan tugas badan ini menyerupai fungsi dan tugas Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat.
Fungsi
Badan POM berfungsi antara lain:
1. Pengaturan, regulasi, dan standardisasi
2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan Cara-cara Produksi yang Baik
3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar
4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum.
5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk
6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan;
7. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
Tetapi mengapa di Indonesia masih banyak terjadi penyimpangan obat dan makanan???
nah... baru-baru ini dunia diributkan dengan susu yang mempunyai formula "plus" yang spesial yaitu susu melamin. Susu yang dicampur dengan melamin. Melamin itu khan bahan pembuat piring, gelas, sendok, garpu, dll. Melamin memang berwarna putih, jika dihaluskan persis kayak susu. Nah bahan ini diminum ama anak bayi. Gila apa??? Masa bahan pembuat piring diberikan ke bayi.... emang gila. Padahal, anak bayi aja ga bisa n ga boleh minum susu yang kalengan, apalagi susu melamin. ih.....
kenapa bisa begitu? karena :
pertama :
PENGUSAHA INGIN UNTUNG CEPAT
ditambah sifat
KEMARUK dan RAKUS
kedua :
yang mengawasi lagi males ngawasin, ga pinter, gada kemauan untuk mengawasi, nganggap enteng, de el el
Siapakah yang mengawasi :
Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan alias BPOM alias be pe o em.
Apa yang harus dilakukan BPOM?
BPOM harus mengawasi, yang berarti aktif melakukan pengawasan sebelum sesuatu terjadi. Jangan mengawasi jika sesuatu telah terjadi. Itu namanya CUMI (CUma MIkirin diri sendiri, ga mikirin kepentingan rakyat banyak --> singkatan yang dipaksakan).
BPOM proaktif mengawasi, untuk menghindari aksi yang mungkin bakal terjadi, dan tidak terlambat reaksinya.
proaksi --> aksi --> reaksi
BPOM harus berada di tingkat PROAKSI, bukan di REAKSI
Coba perhatikan fungsi BPOM nomor 6 yaitu : Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan.
Nah maka kemudian seharusnya sewajarnya seyogyanya (sesemarangnya) BPOM melakukan riset/penelitian dalam rangka pengawasan terhadap obat dan makanan dengan maksud dan tujuan agar tidak terjadi hal-hal yang TIDAK diinginkan.
Dalam hal ini, BPOM mencegah sesuatu sebelum terjadi.
BPOM harus meriset setiap hari/minggu/bulan secara sample maupun tidak terhadap seluruh item produk obat dan makanan. Karena banyaknya item produk, maka BPOM dapat meriset berdasarkan wilayah. BPOM tersebar di seluruh Indonesia, jadi bagi-bagi tugas antar BPOM antar wilayah.
Misalnya wilayah sumatera meriset produk susu, wilayah jawa meriset produk makanan kalengan, dan seterusnya.
Kemudian untuk wilayah sumatera yang meriset susu, dibagi lagi berdasarkan propinsi. Misalnya Propinsi Riau meriset susu untuk anak balita, Propinsi Sumatera Utara meriset susu untuk dewasa, dan seterusnya.
Duh.... masa yang kek gini aja mesti kuajarin sih.
Ini kan dah memang seharusnya dilaksanakan, tetapi tidak dilaksanakan.
Jika riset ini dilakukan setiap hari, maka tidak akan terjadi keracunan dan hal lain yang tidak diinginkan.
Jika riset ini dilakukan maka rakyat akan merasa aman dalam mengonsumsi obat dan makanan.
Coba baca tulisan di bawah ini
Maraknya Obat Palsu, Bukti BPOM Tak Fokus
Oleh
Siti Nuryati
Berbagai kasus terkait pelanggaran terhadap peredaran obat dan makanan di negeri ini boleh dibilang akhir-akhir ini makin marak. Seperti heboh kasus formalin, kisruh obat anti nyamuk, ribut minuman isotonik, kosmetika palsu, kini santer pemberitaan tentang peredaran obat (juga jamu) palsu, selain menghangatnya kasus beras berklorin.
Berbagai kasus itu mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan sistem pengawasan obat dan makanan di negeri ini. Hal itu ironis mengingat konsumsi masyarakat terhadap produk obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan obat asli Indonesia cenderung meningkat.
Sayangnya, konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang produk yang dikonsumsinya itu, apakah sudah tepat, benar, dan aman. Karena itu, Indonesia memerlukan sistem pengawasan obat dan makanan yang efektif dan mampu mendeteksi, mencegah serta mengawasi produk-produk guna melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen.
Pemerintah melalui Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001 membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang bertugas, antara lain memberi izin dan mengawasi peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Namun, mengapa berbagai kasus penyimpangan itu terus saja terjadi?
Lemahnya pengawasan tampaknya menjadi faktor terkuat. Mengapa? Jika ditilik dari sejarah BPOM yang dulunya bernaung di bawah Departemen Kesehatan (Depkes), oleh sebuah keppres kemudian ditarik ke luar dan berdiri sendiri sebagai lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada presiden layaknya LPND (lembaga pemerintah nonDepartemen) lainnya semacam BPS, Bulog, BIN, BKKBN, LIPI, BPPT. Alasannya, pengawasan makanan dan obat memiliki aspek penting dan berdimensi luas dan kompleks.
Semangat itulah yang mendorong diperlukannya sistem pengawasan yang komprehensif, sejak awal proses hingga produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Fungsi pengawasan seperti itu dinilai kurang fokus, jika ditangani sebuah direktorat di bawah Depkes.
Namun dalam perkembangannya, perubahan BPOM menjadi LPND, ternyata belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terlihat BPOM kurang fokus dalam menjalankan fungsinya. BPOM lebih banyak menghabiskan energi untuk membuat regulasi baru di bidang obat dan makanan yang seharusnya menjadi kewenangan Depkes.
Dalam beberapa tahun terakhir, pekerjaan BPOM tidak efektif karena saling tumpang tindih. Selain melakukan pengawasan, BPOM juga memberikan izin registrasi industri dan menyusun regulasi. Keberadaan BPOM juga cenderung menyalahi fungsi dan kewenangannya dengan menjadi regulator atau pembuat peraturan perundang-undangan yang seharusnya tidak menjadi kewenangannya.
Beberapa produk perundangan yang dibuat BPOM adalah UU Pembuatan Surat Persetujuan Impor (SPI) Narkotika dan Psikotropika serta prekusornya (bahan baku), padahal berdasarkan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, hal itu merupakan wewenang Menteri Kesehatan.
Tak hanya itu, Kepala BPOM juga membuat Surat Keputusan No HK0005514547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, padahal Depkes sudah mempunyai peraturan tentang itu yang tertuang dalam PerMenkes No 208/Menkes/Per/IV/1985 tentang Pemanis Buatan dan PerMenkes No 722/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Tak heran jika kemudian tugas-tugas pengawasan yang menjadi tugas utama BPOM menjadi kedodoran.
Selain lemahnya pengawasan, maraknya berbagai pelanggaran peredaran obat dan makanan juga disumbang oleh faktor minimnya tindak lanjut atas kasus-kasus yang terungkap. Meski sudah banyak temuan BPOM, namun sedikit sekali hasil temuan itu diproses hingga ke pengadilan.
Dari laporan BPOM tentang temuan kasus pengawasan terhadap obat dan makanan selama 2006, dari 699 temuan kasus yang terungkap, ternyata hanya 11 kasus yang diputuskan pengadilan. Ini artinya hanya 6 persen yang betul-betul ditangani pengadilan. Belum lagi kasus-kasus yang tak terungkap yang jumlahnya mungkin ratusan.
Ringannya sanksi yang diberikan kepada pelaku pun turut melengkapi situasi maraknya pelanggaran. Betapa tidak, sanksi yang selama ini dikenakan baru sebatas sanksi administratif, wajib lapor, atau denda yang rendah. Sedangkan sanksi berbentuk kurungan masih sangat sedikit.
Guna meningkatkan fungsi pengawasan, BPOM harus kembali kepada fungsi utamanya, yaitu pengawasan dan tidak lagi disibukkan oleh fungsi pemberian izin registrasi maupun penyusunan regulasi. Dua fungsi yang terakhir itu biarlah Depkes yang menangani.
Jika perlu pemerintah bisa membuat payung hukum baru -berupa Undang-undang, misalnya- untuk mempertegas fungsi BPOM di bidang pengawasan seraya memindahkan dua pekerjaan (memberi izin registrasi dan menyusun regulasi) ke pangkuan Depkes.
Tentu saja ada beberapa kerja sama koordinasi yang sangat dimungkinkan bagi BPOM dan Depkes dalam menangani berbagai persoalan yang muncul di ranah obat dan makanan ini.
Dengan demikian, sumber daya yang ada di BPOM dapat difokuskan untuk betul-betul melakukan fungsi pengawasan, tak hanya di level distribusi, tetapi juga proses produksi. Melalui model segitiga koordinasi BPOM-Depkes-aparat penegak hukum, maka diharapkan dapat tercapai sinergi pengawasan yang andal.
Berpedoman pada regulasi yang disusun Depkes, BPOM bisa bekerja dengan menyisir daerah-daerah di Tanah Air untuk memastikan tidak adanya pelanggaran dalam produk-produk obat dan makanan. Jika dalam penyisiran itu ditemukan kasus pelanggaran, maka proses hukum diserahkan ke pihak penegak hukum untuk mendapatkan sanksi yang setimpal.
Jika penegakan hukum berjalan baik, maka tumpukan kasus pelanggaran peredaran obat dan makanan - sebagaimana diungkap BPOM dalam Laporan Tahunan 2006 - tak akan terjadi. Para pelaku pun akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindak pelanggaran lantaran beratnya sanksi.***
Penulis adalah alumnus Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB).
Balai Pengawasan Obat dan Makanan seharusnya mengawasi.
Kata "pengawasan" merupakan kata yang bersifat aktif.
Kata "pengawasan" adalah kata benda yang berarti penilikan dan penjagaan; penilikan dan pengarahan kebijakan jalannya perusahaan, aturan, ketentuan.
BPOM-dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001 yang bertugas di bidang pengawasan obat dan makanan, dengan kewenangannya antara lain pemberian izin dan pengawasan peredaran obat serta pengawasan industri farmasi.
Badan Pengawas Obat dan Makanan atau disingkat Badan POM adalah sebuah lembaga di Indonesia yang bertugas mengawasi peredaran obat-obatan dan makanan di Indonesia. Fungsi dan tugas badan ini menyerupai fungsi dan tugas Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat.
Fungsi
Badan POM berfungsi antara lain:
1. Pengaturan, regulasi, dan standardisasi
2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan Cara-cara Produksi yang Baik
3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar
4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium, pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan hukum.
5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk
6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan;
7. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik.
Tetapi mengapa di Indonesia masih banyak terjadi penyimpangan obat dan makanan???
nah... baru-baru ini dunia diributkan dengan susu yang mempunyai formula "plus" yang spesial yaitu susu melamin. Susu yang dicampur dengan melamin. Melamin itu khan bahan pembuat piring, gelas, sendok, garpu, dll. Melamin memang berwarna putih, jika dihaluskan persis kayak susu. Nah bahan ini diminum ama anak bayi. Gila apa??? Masa bahan pembuat piring diberikan ke bayi.... emang gila. Padahal, anak bayi aja ga bisa n ga boleh minum susu yang kalengan, apalagi susu melamin. ih.....
kenapa bisa begitu? karena :
pertama :
PENGUSAHA INGIN UNTUNG CEPAT
ditambah sifat
KEMARUK dan RAKUS
kedua :
yang mengawasi lagi males ngawasin, ga pinter, gada kemauan untuk mengawasi, nganggap enteng, de el el
Siapakah yang mengawasi :
Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan alias BPOM alias be pe o em.
Apa yang harus dilakukan BPOM?
BPOM harus mengawasi, yang berarti aktif melakukan pengawasan sebelum sesuatu terjadi. Jangan mengawasi jika sesuatu telah terjadi. Itu namanya CUMI (CUma MIkirin diri sendiri, ga mikirin kepentingan rakyat banyak --> singkatan yang dipaksakan).
BPOM proaktif mengawasi, untuk menghindari aksi yang mungkin bakal terjadi, dan tidak terlambat reaksinya.
proaksi --> aksi --> reaksi
BPOM harus berada di tingkat PROAKSI, bukan di REAKSI
Coba perhatikan fungsi BPOM nomor 6 yaitu : Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan.
Nah maka kemudian seharusnya sewajarnya seyogyanya (sesemarangnya) BPOM melakukan riset/penelitian dalam rangka pengawasan terhadap obat dan makanan dengan maksud dan tujuan agar tidak terjadi hal-hal yang TIDAK diinginkan.
Dalam hal ini, BPOM mencegah sesuatu sebelum terjadi.
BPOM harus meriset setiap hari/minggu/bulan secara sample maupun tidak terhadap seluruh item produk obat dan makanan. Karena banyaknya item produk, maka BPOM dapat meriset berdasarkan wilayah. BPOM tersebar di seluruh Indonesia, jadi bagi-bagi tugas antar BPOM antar wilayah.
Misalnya wilayah sumatera meriset produk susu, wilayah jawa meriset produk makanan kalengan, dan seterusnya.
Kemudian untuk wilayah sumatera yang meriset susu, dibagi lagi berdasarkan propinsi. Misalnya Propinsi Riau meriset susu untuk anak balita, Propinsi Sumatera Utara meriset susu untuk dewasa, dan seterusnya.
Duh.... masa yang kek gini aja mesti kuajarin sih.
Ini kan dah memang seharusnya dilaksanakan, tetapi tidak dilaksanakan.
Jika riset ini dilakukan setiap hari, maka tidak akan terjadi keracunan dan hal lain yang tidak diinginkan.
Jika riset ini dilakukan maka rakyat akan merasa aman dalam mengonsumsi obat dan makanan.
Coba baca tulisan di bawah ini
Tulisan ini oleh Siti Nuryati sama persis dengan di
http://www.pk-sejahtera.org/v2/main.php?op=isi&id=5667
cuma kok beda penulis ya???
Diambil dari :
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=169669
tanggal 29 maret 2007
http://opininegeriku.blogspot.com/2009/02/maraknya-obat-palsu-bukti-bpom-tak.html
tanggal 9 februari 2009
(24 Mei 2010 berdasarkan komentar pertama di bawah).
Maraknya Obat Palsu, Bukti BPOM Tak Fokus
Oleh
Siti Nuryati
Berbagai kasus terkait pelanggaran terhadap peredaran obat dan makanan di negeri ini boleh dibilang akhir-akhir ini makin marak. Seperti heboh kasus formalin, kisruh obat anti nyamuk, ribut minuman isotonik, kosmetika palsu, kini santer pemberitaan tentang peredaran obat (juga jamu) palsu, selain menghangatnya kasus beras berklorin.
Berbagai kasus itu mengindikasikan bahwa ada yang salah dengan sistem pengawasan obat dan makanan di negeri ini. Hal itu ironis mengingat konsumsi masyarakat terhadap produk obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan obat asli Indonesia cenderung meningkat.
Sayangnya, konsumen tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang produk yang dikonsumsinya itu, apakah sudah tepat, benar, dan aman. Karena itu, Indonesia memerlukan sistem pengawasan obat dan makanan yang efektif dan mampu mendeteksi, mencegah serta mengawasi produk-produk guna melindungi keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumen.
Pemerintah melalui Keppres Nomor 166 Tahun 2000 dan Nomor 103 Tahun 2001 membentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang bertugas, antara lain memberi izin dan mengawasi peredaran obat serta pengawasan industri farmasi. Namun, mengapa berbagai kasus penyimpangan itu terus saja terjadi?
Lemahnya pengawasan tampaknya menjadi faktor terkuat. Mengapa? Jika ditilik dari sejarah BPOM yang dulunya bernaung di bawah Departemen Kesehatan (Depkes), oleh sebuah keppres kemudian ditarik ke luar dan berdiri sendiri sebagai lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada presiden layaknya LPND (lembaga pemerintah nonDepartemen) lainnya semacam BPS, Bulog, BIN, BKKBN, LIPI, BPPT. Alasannya, pengawasan makanan dan obat memiliki aspek penting dan berdimensi luas dan kompleks.
Semangat itulah yang mendorong diperlukannya sistem pengawasan yang komprehensif, sejak awal proses hingga produk tersebut beredar di tengah masyarakat. Fungsi pengawasan seperti itu dinilai kurang fokus, jika ditangani sebuah direktorat di bawah Depkes.
Namun dalam perkembangannya, perubahan BPOM menjadi LPND, ternyata belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Terlihat BPOM kurang fokus dalam menjalankan fungsinya. BPOM lebih banyak menghabiskan energi untuk membuat regulasi baru di bidang obat dan makanan yang seharusnya menjadi kewenangan Depkes.
Dalam beberapa tahun terakhir, pekerjaan BPOM tidak efektif karena saling tumpang tindih. Selain melakukan pengawasan, BPOM juga memberikan izin registrasi industri dan menyusun regulasi. Keberadaan BPOM juga cenderung menyalahi fungsi dan kewenangannya dengan menjadi regulator atau pembuat peraturan perundang-undangan yang seharusnya tidak menjadi kewenangannya.
Beberapa produk perundangan yang dibuat BPOM adalah UU Pembuatan Surat Persetujuan Impor (SPI) Narkotika dan Psikotropika serta prekusornya (bahan baku), padahal berdasarkan UU No 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika serta UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, hal itu merupakan wewenang Menteri Kesehatan.
Tak hanya itu, Kepala BPOM juga membuat Surat Keputusan No HK0005514547 tentang Persyaratan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pemanis Buatan dalam Produk Pangan, padahal Depkes sudah mempunyai peraturan tentang itu yang tertuang dalam PerMenkes No 208/Menkes/Per/IV/1985 tentang Pemanis Buatan dan PerMenkes No 722/1988 tentang Bahan Tambahan Makanan. Tak heran jika kemudian tugas-tugas pengawasan yang menjadi tugas utama BPOM menjadi kedodoran.
Selain lemahnya pengawasan, maraknya berbagai pelanggaran peredaran obat dan makanan juga disumbang oleh faktor minimnya tindak lanjut atas kasus-kasus yang terungkap. Meski sudah banyak temuan BPOM, namun sedikit sekali hasil temuan itu diproses hingga ke pengadilan.
Dari laporan BPOM tentang temuan kasus pengawasan terhadap obat dan makanan selama 2006, dari 699 temuan kasus yang terungkap, ternyata hanya 11 kasus yang diputuskan pengadilan. Ini artinya hanya 6 persen yang betul-betul ditangani pengadilan. Belum lagi kasus-kasus yang tak terungkap yang jumlahnya mungkin ratusan.
Ringannya sanksi yang diberikan kepada pelaku pun turut melengkapi situasi maraknya pelanggaran. Betapa tidak, sanksi yang selama ini dikenakan baru sebatas sanksi administratif, wajib lapor, atau denda yang rendah. Sedangkan sanksi berbentuk kurungan masih sangat sedikit.
Guna meningkatkan fungsi pengawasan, BPOM harus kembali kepada fungsi utamanya, yaitu pengawasan dan tidak lagi disibukkan oleh fungsi pemberian izin registrasi maupun penyusunan regulasi. Dua fungsi yang terakhir itu biarlah Depkes yang menangani.
Jika perlu pemerintah bisa membuat payung hukum baru -berupa Undang-undang, misalnya- untuk mempertegas fungsi BPOM di bidang pengawasan seraya memindahkan dua pekerjaan (memberi izin registrasi dan menyusun regulasi) ke pangkuan Depkes.
Tentu saja ada beberapa kerja sama koordinasi yang sangat dimungkinkan bagi BPOM dan Depkes dalam menangani berbagai persoalan yang muncul di ranah obat dan makanan ini.
Dengan demikian, sumber daya yang ada di BPOM dapat difokuskan untuk betul-betul melakukan fungsi pengawasan, tak hanya di level distribusi, tetapi juga proses produksi. Melalui model segitiga koordinasi BPOM-Depkes-aparat penegak hukum, maka diharapkan dapat tercapai sinergi pengawasan yang andal.
Berpedoman pada regulasi yang disusun Depkes, BPOM bisa bekerja dengan menyisir daerah-daerah di Tanah Air untuk memastikan tidak adanya pelanggaran dalam produk-produk obat dan makanan. Jika dalam penyisiran itu ditemukan kasus pelanggaran, maka proses hukum diserahkan ke pihak penegak hukum untuk mendapatkan sanksi yang setimpal.
Jika penegakan hukum berjalan baik, maka tumpukan kasus pelanggaran peredaran obat dan makanan - sebagaimana diungkap BPOM dalam Laporan Tahunan 2006 - tak akan terjadi. Para pelaku pun akan berpikir seribu kali untuk melakukan tindak pelanggaran lantaran beratnya sanksi.***
Penulis adalah alumnus Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB).