Seorang temen kantor bertanya ketika membaca shoutmix blogku, "akhi tuh apaan sih? kalo ukhti apa?".
Kujawab, "Akhi untuk panggilan cowok, ukhti untuk panggilan cewek".
Jawaban sederhana yang membuat aku sendiri menjadi penasaran. Udah sering sapaan bahkan ndenger lagu yang ada liriknya "ya akhi.... ya ukhti...".
Karena penasaran, aku pun mengadu ke oom google dengan menggunakan keyword "arti akhi ukhti" (tanpa tanda petik dua). Eh... oom google emang baik nunjukin beberapa alamat web/blog. Dan ada sebuah alamat website yang menjelasin arti antum, akhi, ukhti, ikhwan, akhwat secara gamblang blang blang blang blang...
Coba baca deh....
Akhwat adalah Perempuan (Tapi Tidak Sebaliknya?)
http://mradhi.com/linguistik/akhwat-adalah-perempuan-tapi-tidak-sebaliknya.html
Di lingkungan kampus, khususnya di kalangan aktivis keislaman, ada sebuah gejala bahasa yang menarik; yaitu penyerapan kosakata bahasa Arab (BA). Dari sekian banyak kata yang diserap, tulisan ini membatasi pembahasan pada lima kata, yaitu antum, akhi, ukhti, ikhwan, akhwat. Kelima kata tersebut mengundang kontroversi karena ada kecenderungan memarjinalkan kosakata bahasa Indonesia (BI) yang bersinonim dengannya. Inilah yang membuat peristiwa penyerapan kata ini menjadi menarik untuk dikaji.
Dalam BA, antum digunakan sebagai penyapa pronomina persona kedua jamak laki-laki; dan pronomina persona kedua jamak netral, yaitu jika orang yang disapa adalah sejumlah tiga dan/atau lebih laki-laki dan perempuan (catat: BA menganut konsep tunggal-ganda-jamak). Adapun kata akhi, ukhti, ikhwan, akhwat memiliki akar kata yang sama, yaitu akh atau ukh, yang berarti saudara. Akhi (= saudara laki-lakiku) atau ukhti (= saudara perempuanku) merupakan kata penyapa pronomina persona kedua tunggal yang dipakai bilamana yang disapa adalah saudara kandung, saudara sepersusuan, kerabat, teman, sahabat, atau, dan ini terutama, saudara seakidah; dengan kata lain, akhi dan ukhti hanya digunakan jika penutur merasa ada ikatan dengan mitra tutur. Adapun ikhwan dan akhwat adalah bentuk jamak dari akhi dan ukhti, tapi digunakan sebagai pengacu pronomina ketiga jamak. Beberapa kalangan secara ajeg dan sadar menggunakan kelima kata itu sebagai warga BA dengan cara memperlakukan kelimanya, secara semantik maupun sintaksis, sesuai kaidah tata bahasa BA.
Namun ada sebagian kalangan yang menggunakannya secara berbeda. Bentuk dipertahankan, sementara perilaku semantik dan sintaksisnya diikutkan ke dalam kaidah BI. Antum digunakan sebagai penyapa pronomina persona kedua tunggal dan jamak netral. Akhi-ukhti digunakan sebagai (a) penyapa pronomina persona kedua tunggal, seperti dalam (1) “Akhi, tolong bawakan makanan ini ke ruang rapat”; dan (b) pengacu pronomina persona ketiga, seperti dalam (2) “Materi selanjutnya akan dipaparkan oleh akhi Mahmud.” Adapun ikhwan-akhwat berubah menjadi (a) pengacu pronomina persona ketiga tunggal, seperti dalam (3) “Dia itu ikhwan/akhwat“; dan (b) nomina perujukan yang bersifat generik.
Setiap kata dalam bahasa manapun memiliki makna (Alwi dkk. 2000). Makna sebuah kata memiliki dua dimensi, yaitu denotasi dan sense (Finegan et al. 1992). Denotasi sebuah kata lahir dari hubungannya dengan dunia luar bahasa, sementara sense sebuah kata lahir dari hubungannya dengan kata-kata lain di dalam bahasa. Verhaar (2001) memakai istilah denotasi dan konotasi untuk maksud yang kurang lebih sama. Denotasi adalah referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna kata yang bersangkutan, sedangkan konotasi adalah “arti” yang dapat muncul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional. Secara denotatif, antum bersinonim dengan kamu, engkau, kalian, dan Anda; akhi-ukhti dengan saudara-saudari atau Anda; ikhwan dengan cowok, laki-laki dan pria; akhwat dengan cewek, perempuan, dan wanita. Namun demikian, dalam studi semantik kita mengenal kaidah umum bahwa bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda pula maknanya (Chaer 2002). Artinya, meski dua buah kata atau lebih bersinonim, maknanya tidak seratus persen sama. Tidak mutlak atau simetris. Mereka hanya sama dalam sebagian fitur semantiknya. Pasti ada fitur semantik yang tidak sama. Adanya fitur tertentu pada sebuah kata dan tidak pada yang lain, padahal mereka bersinonim, menimbulkan perbedaan nuansa di antara kata-kata yang bersinonim tersebut, sehingga istilah sinonim lebih tepat disebut kurang lebih sama makna alih-alih sama (Verhaar 2001). Nuansa disebut juga sense (Finegan et al. 1992) atau nilai rasa (Chaer 2002). Secara operasional perbedaan nuansa ini dapat dibuktikan. Misalnya kata cowok dengan laki-laki dan pria (juga cewek dengan perempuan dan wanita) adalah kata-kata yang bersinonim. Tapi ketika tetangga kita melahirkan seorang bayi, kita lazimnya bertanya Bayinya laki-laki atau perempuan? alih-alih Bayinya pria atau wanita?. Silakan cari sendiri kalimat lain yang mengandung kata laki-laki dan perempuan dan tukargulingkan kata-kata yang dianggap saling bersinonim itu lalu rasakan perbedaan nuansanya.
Dari mana nuansa itu datang? Karena bahasa tumbuh dalam suatu masyarakat yang memiliki budaya tersendiri, maka kata-kata dalam bahasa sering pula dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang bersangkutan (Alwi dkk. 2000; 215). Artinya, nuansa, sense, atau nilai rasa suatu kata lahir dari pandangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma budaya yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan ditambah adanya pembedaan fungsi sosial kata tersebut. Dalam kasus ini, nilai-nilai itu adalah nilai-nilai Islam.
Kelima kata di atas pada awalnya adalah bagian dari jargon para aktivis. Jargon adalah variasi bahasa yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu tapi tidak bersifat rahasia (Chaer dan Agustina 1995: 89). Secara khusnuzhan kita anggap para aktivis memiliki intensitas yang lebih, ketimbang yang bukan aktivis, dalam mengkaji Islam. Alat yang efektif untuk mengkaji Islam adalah BA, mengingat Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw, hingga kitab-kitab fikih yang jadi rujukan, banyak ditulis dalam BA. BA menjadi elan vitale dalam mengakses Islam secara kaffah. Maka akrablah para aktivis itu dengan BA. Verbal repertoir mereka kaya dengan kosakata BA. Ini membuka peluang campur kode dan interferensi, terutama dalam pertuturan. Menurut Chaer dan Agustina (1995), campur kode terjadi ketika seorang penutur menyelipkan serpihan-serpihan BA ke dalam BI yang ia gunakan. Dalam campur kode, penyelipan itu dilakukan secara sadar dan memang dianggap perlu, sehingga tidak dipandang sebagai kesalahan atau penyimpangan. Interferensi juga berbicara masalah penggunaan unsur-unsur bahasa lain ketika menggunakan suatu bahasa. Hanya saja, dalam interferensi penggunaan unsur-unsur bahasa lain itu dianggap sebagai kesalahan karena menyimpang dari kaidah bahasa yang digunakan.
Baik campur kode maupun interferensi bisa menjadi sarana pemerkaya kosakata suatu bahasa, karena memungkinkan terjadinya saling mempengaruhi antarbahasa. Bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya dan pemakaian yang luas cenderung memiliki kosakata yang secara relatif sangat banyak sehingga berpotensi memberi kontribusi kosakata kepada bahasa yang berkembang dan memiliki kontak dengan bahasa tersebut. Adanya kontak antarbahasa membuka peluang peminjaman kata. Alasan peminjaman itu adalah perlunya kosakata baru untuk mengacu pada objek, konsep atau sesuatu yang baru. Karena bagaimanapun, sebuah kata mewakili suatu konsep tunggal maupun suatu kombinasi konsep yang saling berhubungan sedemikian rupa dan membentuk kesatuan psikologis (Sapir 1921 dalam Chaer 2002). Manakala suatu kosakata asing dipinjam, selalu ada usaha dari peminjam untuk menyesuaikan kosakata pinjaman itu dengan sistem bahasa peminjam. Seringkali penyesuaian itu terjadi pada tataran bunyi dan ejaan. Meskipun ternyata bisa juga pada tataran makna.
Kata antum, akhi-ukhti, dan ikhwan-akhwat diberi fitur semantik +aktivis dakwah (atau +aktivis rohis), sementara kata-kata yang dianggap bersinonim dengannya difituri -aktivis dakwah. Dengan kata lain, seseorang akan disapa dengan antum atau akhi/ukhti atau disebut ikhwan/akhwat hanya jika dia adalah aktivis dakwah. Jika pria/wanita adalah laki-laki/perempuan yang berfitur +dewasa, cowok/cewek adalah laki-laki/perempuan yang berfitur dewasa dan/atau +remaja, maka ikhwan/akhwat adalah laki-laki/perempuan yang berfitur +aktivis dakwah. Selain itu, ikhwan seringkali diasosiasikan dengan janggut, pakaian muslim dan peci. Sementara akhwat diasosiasikan dengan pakaian muslimah dan sikap lemah lembut.
Secara “etimologis”, ikhwan mulanya digunakan untuk menyebut seseorang yang mengikuti pengajian yang berafiliasi ke atau mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin (IM), sebuah gerakan Islam terkemuka yang bersifat internasional yang lahir di Mesir tahun 1928 (Thahhan 2000). Ide-ide IM memang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan basis terbesarnya (setidaknya di Indonesia) adalah kampus. Di kampus-kampus PTN banyak halqah-halqah (pengajian kecil). Kalau ada seorang laki-laki mulai mengikuti pengajian yang berafiliasi ke atau mengadopsi pemikiran IM, maka dia disebut sudah menjadi ikhwan alias menjadi kader IM. Seiring pesatnya perkembangan gerakan Islam, makna ikhwan kemudian meluas. Setiap laki-laki yang jadi aktivis harakah, ke manapun afiliasinya, disebut ikhwan. Kalau mau, dari ikhwan/akhwat bisa diturunkan ikhwanisasi/akhwatisasi, yaitu proses mengubah seorang laki-laki/perempuan menjadi ikhwan/akhwat melalui lembaga pernikahan. Bagi sebagian ikhwan/akhwat, perjuangan untuk mengaktiviskan seorang laki-laki/perempuan yang menjadi (calon) pasangan hidupnya adalah “ladang dakwah” atau “ladang jihad” tersendiri. Karena itu, seorang ikhwan/akhwat biasanya mengatakan “Kalau ingin menikahi saya, antum harus ngaji dulu” atau kalimat yang seilokusi dengannya, kepada laki-laki/perempuan yang ingin menikahinya. Ngaji di sini bukan mengaji Al-Qur’an, melainkan mengaji Islam di jama’ah yang sama dengan sang pujaan hati.
Sampai sini, kelimat kata di atas masih berstatus jargon. Tapi, jargon lambat laun bisa berintegrasi (Chaer dan Agustina 1995) atau berkonvergensi (Alwasilah 1993 dan Kridalaksana 2001) ke dalam BI. Ketika jargon itu bisa diterima dan digunakan oleh penutur lain secara seragam, maka ia akan menjadi warga bahasa resepien. Setidaknya warga BI ragam bukan standar. Untuk itu, perlu ada persetujuan dari guyub tutur BI. Persetujuan bisa diperoleh melalui konvensi diam dengan adanya keseragaman penggunaan dan perluasan pengguna. Untuk di lingkungan kampus hal ini sudah terlihat. Suatu hari, seorang kawan, sebutlah A, berjalan bersama adik angkatannya, seorang laki-laki, sebutlah B, yang dikenal sebagai aktivis harakah. Di pelataran masjid, mereka bertemu dengan dosen mereka. Demi melihat A berjanggut, kemudian berjalan bersama seorang aktivis, sang dosen berkomentar, “Deeuuh, yang mau jadi ikhwan….” Di kalangan aktivis ormawa (organisasi kemahasiswaan) ada sebutan akhwat palsu (disingkat asu), yang dialamatkan kepada perempuan yang penampilannya akhwat tapi perilakunya masih seperti cewek kebanyakan. Kalau ada yang dianggap palsu, berarti ada yang asli. Dalam Diorama Sepasang AlBanna karya Ari Nur, dalam sebuah fragmen (hal. 69), tokoh Dara bertanya kepada tokoh Rani tentang tokoh Ryan, “Menurutmu dia ikhwan bukan?” Padahal Dara tahu betul bahwa Ryan, semasa kuliah, aktif beraktivitas dakwah namun meluntur ketika telah menjadi eksekutif muda yang sukses, sehingga ia disebut mantan ikhwan. Contoh lain, dalam sebuah acara kepenulisan, panitia memberi door prize dengan meminta salah seorang peserta, perempuan, maju dan diberi pertanyaan: siapakah pengarang Catatan Seorang Ukhti? Bukannya menjawab “Kusmarwanti”, perempuan itu malah mengatakan, “Wah, saya mah bukan akhwat.” Contoh lain bisa ditemui dalam cerpen, cerber atau novel populer-islami yang lain. Terutama yang dikarang oleh ikhwan/akhwat.
Contoh-contoh di atas menunjukkan adanya dikotomi antara laki-laki/perempuan dengan ikhwan/akhwat, yang penggunanya awalnya terbatas tapi sudah mulai meluas. Lambat laun, meningkatnya intensitas kontak antara aktivis dengan masyarakat luas akan membantu sosialisasi kata-kata tersebut, sehingga sangat mungkin masyarakat luas akan terpengaruhi. Jadi, jangan heran jika suatu saat Pikiran Rakyat memuat berita dengan judul Ribuan Akhwat Menentang Agresi AS.
catatan: artikel buatan tahun 2003 - mra
Kujawab, "Akhi untuk panggilan cowok, ukhti untuk panggilan cewek".
Jawaban sederhana yang membuat aku sendiri menjadi penasaran. Udah sering sapaan bahkan ndenger lagu yang ada liriknya "ya akhi.... ya ukhti...".
Karena penasaran, aku pun mengadu ke oom google dengan menggunakan keyword "arti akhi ukhti" (tanpa tanda petik dua). Eh... oom google emang baik nunjukin beberapa alamat web/blog. Dan ada sebuah alamat website yang menjelasin arti antum, akhi, ukhti, ikhwan, akhwat secara gamblang blang blang blang blang...
Coba baca deh....
Akhwat adalah Perempuan (Tapi Tidak Sebaliknya?)
http://mradhi.com/linguistik/akhwat-adalah-perempuan-tapi-tidak-sebaliknya.html
Di lingkungan kampus, khususnya di kalangan aktivis keislaman, ada sebuah gejala bahasa yang menarik; yaitu penyerapan kosakata bahasa Arab (BA). Dari sekian banyak kata yang diserap, tulisan ini membatasi pembahasan pada lima kata, yaitu antum, akhi, ukhti, ikhwan, akhwat. Kelima kata tersebut mengundang kontroversi karena ada kecenderungan memarjinalkan kosakata bahasa Indonesia (BI) yang bersinonim dengannya. Inilah yang membuat peristiwa penyerapan kata ini menjadi menarik untuk dikaji.
Dalam BA, antum digunakan sebagai penyapa pronomina persona kedua jamak laki-laki; dan pronomina persona kedua jamak netral, yaitu jika orang yang disapa adalah sejumlah tiga dan/atau lebih laki-laki dan perempuan (catat: BA menganut konsep tunggal-ganda-jamak). Adapun kata akhi, ukhti, ikhwan, akhwat memiliki akar kata yang sama, yaitu akh atau ukh, yang berarti saudara. Akhi (= saudara laki-lakiku) atau ukhti (= saudara perempuanku) merupakan kata penyapa pronomina persona kedua tunggal yang dipakai bilamana yang disapa adalah saudara kandung, saudara sepersusuan, kerabat, teman, sahabat, atau, dan ini terutama, saudara seakidah; dengan kata lain, akhi dan ukhti hanya digunakan jika penutur merasa ada ikatan dengan mitra tutur. Adapun ikhwan dan akhwat adalah bentuk jamak dari akhi dan ukhti, tapi digunakan sebagai pengacu pronomina ketiga jamak. Beberapa kalangan secara ajeg dan sadar menggunakan kelima kata itu sebagai warga BA dengan cara memperlakukan kelimanya, secara semantik maupun sintaksis, sesuai kaidah tata bahasa BA.
Namun ada sebagian kalangan yang menggunakannya secara berbeda. Bentuk dipertahankan, sementara perilaku semantik dan sintaksisnya diikutkan ke dalam kaidah BI. Antum digunakan sebagai penyapa pronomina persona kedua tunggal dan jamak netral. Akhi-ukhti digunakan sebagai (a) penyapa pronomina persona kedua tunggal, seperti dalam (1) “Akhi, tolong bawakan makanan ini ke ruang rapat”; dan (b) pengacu pronomina persona ketiga, seperti dalam (2) “Materi selanjutnya akan dipaparkan oleh akhi Mahmud.” Adapun ikhwan-akhwat berubah menjadi (a) pengacu pronomina persona ketiga tunggal, seperti dalam (3) “Dia itu ikhwan/akhwat“; dan (b) nomina perujukan yang bersifat generik.
Setiap kata dalam bahasa manapun memiliki makna (Alwi dkk. 2000). Makna sebuah kata memiliki dua dimensi, yaitu denotasi dan sense (Finegan et al. 1992). Denotasi sebuah kata lahir dari hubungannya dengan dunia luar bahasa, sementara sense sebuah kata lahir dari hubungannya dengan kata-kata lain di dalam bahasa. Verhaar (2001) memakai istilah denotasi dan konotasi untuk maksud yang kurang lebih sama. Denotasi adalah referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna kata yang bersangkutan, sedangkan konotasi adalah “arti” yang dapat muncul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional. Secara denotatif, antum bersinonim dengan kamu, engkau, kalian, dan Anda; akhi-ukhti dengan saudara-saudari atau Anda; ikhwan dengan cowok, laki-laki dan pria; akhwat dengan cewek, perempuan, dan wanita. Namun demikian, dalam studi semantik kita mengenal kaidah umum bahwa bentuk-bentuk yang berbeda akan berbeda pula maknanya (Chaer 2002). Artinya, meski dua buah kata atau lebih bersinonim, maknanya tidak seratus persen sama. Tidak mutlak atau simetris. Mereka hanya sama dalam sebagian fitur semantiknya. Pasti ada fitur semantik yang tidak sama. Adanya fitur tertentu pada sebuah kata dan tidak pada yang lain, padahal mereka bersinonim, menimbulkan perbedaan nuansa di antara kata-kata yang bersinonim tersebut, sehingga istilah sinonim lebih tepat disebut kurang lebih sama makna alih-alih sama (Verhaar 2001). Nuansa disebut juga sense (Finegan et al. 1992) atau nilai rasa (Chaer 2002). Secara operasional perbedaan nuansa ini dapat dibuktikan. Misalnya kata cowok dengan laki-laki dan pria (juga cewek dengan perempuan dan wanita) adalah kata-kata yang bersinonim. Tapi ketika tetangga kita melahirkan seorang bayi, kita lazimnya bertanya Bayinya laki-laki atau perempuan? alih-alih Bayinya pria atau wanita?. Silakan cari sendiri kalimat lain yang mengandung kata laki-laki dan perempuan dan tukargulingkan kata-kata yang dianggap saling bersinonim itu lalu rasakan perbedaan nuansanya.
Dari mana nuansa itu datang? Karena bahasa tumbuh dalam suatu masyarakat yang memiliki budaya tersendiri, maka kata-kata dalam bahasa sering pula dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang bersangkutan (Alwi dkk. 2000; 215). Artinya, nuansa, sense, atau nilai rasa suatu kata lahir dari pandangan masyarakat berdasarkan nilai-nilai atau norma-norma budaya yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan ditambah adanya pembedaan fungsi sosial kata tersebut. Dalam kasus ini, nilai-nilai itu adalah nilai-nilai Islam.
Kelima kata di atas pada awalnya adalah bagian dari jargon para aktivis. Jargon adalah variasi bahasa yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu tapi tidak bersifat rahasia (Chaer dan Agustina 1995: 89). Secara khusnuzhan kita anggap para aktivis memiliki intensitas yang lebih, ketimbang yang bukan aktivis, dalam mengkaji Islam. Alat yang efektif untuk mengkaji Islam adalah BA, mengingat Al-Qur’an, Sunnah Nabi saw, hingga kitab-kitab fikih yang jadi rujukan, banyak ditulis dalam BA. BA menjadi elan vitale dalam mengakses Islam secara kaffah. Maka akrablah para aktivis itu dengan BA. Verbal repertoir mereka kaya dengan kosakata BA. Ini membuka peluang campur kode dan interferensi, terutama dalam pertuturan. Menurut Chaer dan Agustina (1995), campur kode terjadi ketika seorang penutur menyelipkan serpihan-serpihan BA ke dalam BI yang ia gunakan. Dalam campur kode, penyelipan itu dilakukan secara sadar dan memang dianggap perlu, sehingga tidak dipandang sebagai kesalahan atau penyimpangan. Interferensi juga berbicara masalah penggunaan unsur-unsur bahasa lain ketika menggunakan suatu bahasa. Hanya saja, dalam interferensi penggunaan unsur-unsur bahasa lain itu dianggap sebagai kesalahan karena menyimpang dari kaidah bahasa yang digunakan.
Baik campur kode maupun interferensi bisa menjadi sarana pemerkaya kosakata suatu bahasa, karena memungkinkan terjadinya saling mempengaruhi antarbahasa. Bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya dan pemakaian yang luas cenderung memiliki kosakata yang secara relatif sangat banyak sehingga berpotensi memberi kontribusi kosakata kepada bahasa yang berkembang dan memiliki kontak dengan bahasa tersebut. Adanya kontak antarbahasa membuka peluang peminjaman kata. Alasan peminjaman itu adalah perlunya kosakata baru untuk mengacu pada objek, konsep atau sesuatu yang baru. Karena bagaimanapun, sebuah kata mewakili suatu konsep tunggal maupun suatu kombinasi konsep yang saling berhubungan sedemikian rupa dan membentuk kesatuan psikologis (Sapir 1921 dalam Chaer 2002). Manakala suatu kosakata asing dipinjam, selalu ada usaha dari peminjam untuk menyesuaikan kosakata pinjaman itu dengan sistem bahasa peminjam. Seringkali penyesuaian itu terjadi pada tataran bunyi dan ejaan. Meskipun ternyata bisa juga pada tataran makna.
Kata antum, akhi-ukhti, dan ikhwan-akhwat diberi fitur semantik +aktivis dakwah (atau +aktivis rohis), sementara kata-kata yang dianggap bersinonim dengannya difituri -aktivis dakwah. Dengan kata lain, seseorang akan disapa dengan antum atau akhi/ukhti atau disebut ikhwan/akhwat hanya jika dia adalah aktivis dakwah. Jika pria/wanita adalah laki-laki/perempuan yang berfitur +dewasa, cowok/cewek adalah laki-laki/perempuan yang berfitur dewasa dan/atau +remaja, maka ikhwan/akhwat adalah laki-laki/perempuan yang berfitur +aktivis dakwah. Selain itu, ikhwan seringkali diasosiasikan dengan janggut, pakaian muslim dan peci. Sementara akhwat diasosiasikan dengan pakaian muslimah dan sikap lemah lembut.
Secara “etimologis”, ikhwan mulanya digunakan untuk menyebut seseorang yang mengikuti pengajian yang berafiliasi ke atau mengadopsi pemikiran Ikhwanul Muslimin (IM), sebuah gerakan Islam terkemuka yang bersifat internasional yang lahir di Mesir tahun 1928 (Thahhan 2000). Ide-ide IM memang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, dan basis terbesarnya (setidaknya di Indonesia) adalah kampus. Di kampus-kampus PTN banyak halqah-halqah (pengajian kecil). Kalau ada seorang laki-laki mulai mengikuti pengajian yang berafiliasi ke atau mengadopsi pemikiran IM, maka dia disebut sudah menjadi ikhwan alias menjadi kader IM. Seiring pesatnya perkembangan gerakan Islam, makna ikhwan kemudian meluas. Setiap laki-laki yang jadi aktivis harakah, ke manapun afiliasinya, disebut ikhwan. Kalau mau, dari ikhwan/akhwat bisa diturunkan ikhwanisasi/akhwatisasi, yaitu proses mengubah seorang laki-laki/perempuan menjadi ikhwan/akhwat melalui lembaga pernikahan. Bagi sebagian ikhwan/akhwat, perjuangan untuk mengaktiviskan seorang laki-laki/perempuan yang menjadi (calon) pasangan hidupnya adalah “ladang dakwah” atau “ladang jihad” tersendiri. Karena itu, seorang ikhwan/akhwat biasanya mengatakan “Kalau ingin menikahi saya, antum harus ngaji dulu” atau kalimat yang seilokusi dengannya, kepada laki-laki/perempuan yang ingin menikahinya. Ngaji di sini bukan mengaji Al-Qur’an, melainkan mengaji Islam di jama’ah yang sama dengan sang pujaan hati.
Sampai sini, kelimat kata di atas masih berstatus jargon. Tapi, jargon lambat laun bisa berintegrasi (Chaer dan Agustina 1995) atau berkonvergensi (Alwasilah 1993 dan Kridalaksana 2001) ke dalam BI. Ketika jargon itu bisa diterima dan digunakan oleh penutur lain secara seragam, maka ia akan menjadi warga bahasa resepien. Setidaknya warga BI ragam bukan standar. Untuk itu, perlu ada persetujuan dari guyub tutur BI. Persetujuan bisa diperoleh melalui konvensi diam dengan adanya keseragaman penggunaan dan perluasan pengguna. Untuk di lingkungan kampus hal ini sudah terlihat. Suatu hari, seorang kawan, sebutlah A, berjalan bersama adik angkatannya, seorang laki-laki, sebutlah B, yang dikenal sebagai aktivis harakah. Di pelataran masjid, mereka bertemu dengan dosen mereka. Demi melihat A berjanggut, kemudian berjalan bersama seorang aktivis, sang dosen berkomentar, “Deeuuh, yang mau jadi ikhwan….” Di kalangan aktivis ormawa (organisasi kemahasiswaan) ada sebutan akhwat palsu (disingkat asu), yang dialamatkan kepada perempuan yang penampilannya akhwat tapi perilakunya masih seperti cewek kebanyakan. Kalau ada yang dianggap palsu, berarti ada yang asli. Dalam Diorama Sepasang AlBanna karya Ari Nur, dalam sebuah fragmen (hal. 69), tokoh Dara bertanya kepada tokoh Rani tentang tokoh Ryan, “Menurutmu dia ikhwan bukan?” Padahal Dara tahu betul bahwa Ryan, semasa kuliah, aktif beraktivitas dakwah namun meluntur ketika telah menjadi eksekutif muda yang sukses, sehingga ia disebut mantan ikhwan. Contoh lain, dalam sebuah acara kepenulisan, panitia memberi door prize dengan meminta salah seorang peserta, perempuan, maju dan diberi pertanyaan: siapakah pengarang Catatan Seorang Ukhti? Bukannya menjawab “Kusmarwanti”, perempuan itu malah mengatakan, “Wah, saya mah bukan akhwat.” Contoh lain bisa ditemui dalam cerpen, cerber atau novel populer-islami yang lain. Terutama yang dikarang oleh ikhwan/akhwat.
Contoh-contoh di atas menunjukkan adanya dikotomi antara laki-laki/perempuan dengan ikhwan/akhwat, yang penggunanya awalnya terbatas tapi sudah mulai meluas. Lambat laun, meningkatnya intensitas kontak antara aktivis dengan masyarakat luas akan membantu sosialisasi kata-kata tersebut, sehingga sangat mungkin masyarakat luas akan terpengaruhi. Jadi, jangan heran jika suatu saat Pikiran Rakyat memuat berita dengan judul Ribuan Akhwat Menentang Agresi AS.
catatan: artikel buatan tahun 2003 - mra