Pembangunan yang tidak berkelanjutan merupakan pembalikan arah, tujuan, fungsi dan segala hal dari Pembangunan Berkelanjutan. Sustainable development yang di-Indonesia-kan menjadi Pembangunan Berkelanjutan merupakan proses pembangunan yang memiliki prinsip bahwa pembangunan itu terus berlanjut untuk kehidupan manusia saat ini dan saat selanjutnya yang tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. Faktor penting yang harus diperhatikan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan dengan tidak mengorbankan pemenuhan kebutuhan pembangunan ekonomi dan sosial. Sehingga tiga faktor utama tersebut (ekonomi, sosial, lingkungan) menjadi suatu ketergantungan yang tidak bisa dilepaskan satu sama lainnya. Salah satu masalah ini pernah diulas di postingan Menghalau Gajah VS Ekonomi Kerakyatan.
Istilah Pembangunan Berkelanjutan telah lama berdengung, demikian juga dengan Pembangunan Hijau. Kedua istilah ini sama-sama memiliki 3 faktor utama seperti di atas, hanya saja Pembangunan Hijau lebih mendahulukan Perbaikan Lingkungan. Dengan lingkungan yang lebih baik maka kemudian sumber daya tercukupi dengan pemenuhan ekonomi dan sosial. Pembangunan Hijau didengungkan karena kehancuran lingkungan yang sangat dahsyat sehingga memerlukan penangan dan perhatian khusus untuk memperbaiki, dimana lingkungan adalah merupakan sumber daya bagi manusia sekarang dan masa depan.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan memang penuh dengan perdebatan sengit terutama tentang pengertian, faktor utama dan pendukung, teknik pelaksanaan sampai dengan pembelajaran kepada publik. Tetapi yang harus kita ambil sebenarnya pola pikir bahwa kita hidup bukan hanya untuk kita hari ini. Kita hidup juga untuk generasi penerus kita, keturunan kita. Bahkan ketika mengikut kuliah dengan (alm) Prof. Mubyarto sang pakar ekonomi kerakyatan di UGM Jogjakarta, beliau pun mengarahkan konsep Pembangunan Berkelanjutan kepada nilai-nilai agama. Bahwa tidak ada satu agama pun di muka bumi ini mengajarkan umatnya untuk menghancurkan alam. Menghancurkan alam sama saja menghancurkan diri sendiri.
Tetapi kenyataannya bahwa pembangunan di Indonesia tidaklah bisa menerapkan 100 persen konsep pembangunan berkelanjutan. Masih banyak kebijakan-kebijakan publik yang tidak memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Banyak contoh yang ada dan akhirnya muncul ke permukaan karena tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Kebijakan publik di bidang kehutanan baik menyangkut penebangan dan pemanfaatan hutan alam, perlambatan perluasan hutan lindung, penindakan illegal logging sampai penangan kebakaran hutan.
Pemanfaatan dana reboisasi yang tidak jelas arah dan penggunaannya juga merupakan suatu hal yang membuat pembangunan yang tidak berkelanjutan. Ketika aku masih bekerja di sebuah bank swasta bagian back office (BO) yang menangani transfer uang, setiap hari ada saja perusahaan kayu di Riau menyetor Dana Reboisasi ke rekening khusus Menteri Kehutanan. Ini adalah prosedur legal atas pemanfaatan kayu yang telah ditebang. Yang menjadi temuan pemeriksa adalah jumlah yang disetor ternyata tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kemudian tidak jelasnya pemanfaatan dana tersebut. Hal ini telah sering dikumandangkan dengan keras oleh organisasi non-profit/non-pemerintah (NGO/non-government organization).
Pada kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Sejuta Hektar sebagai usaha pemenuhan pangan teruatama beras, sebenarnya merupakan tujuan mulia. Tetapi jika dirunut ke belakang adalah bahwa lahan tersebut adalah lahan bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang kosong dan ditumbuhi semak belukar dan pohon kecil. Nah, kenapa tidak menggunakan dana reboisasi untuk menghijaukan kembali lahan bekas HPH ini. Dana Reboisasi malahan dipakai untuk membangun lahan sawah di mega proyek Lahan Sejuta Hektar tersebut (Mega Rice Project). Dana APBN telah digunakan lebih dari 2 trilyun rupiah dan gagal karena melawan kodrat alam. PPLG Sejuta Hektar dilaksanakan berdasarkan Keppres 82 tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995.
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pada proyek Lahan Sejuta Hektar disusun setelah proyek berjalan, sehingga tidak adanya analisa mendalam mengenai lingkungan baik flora maupun fauna. Beberapa NGO telah menyuarakan tentang perlunya peninjauan ulang atas proyek ini, tetapi terlambat diperhatikan oleh pembuat kebijakan publik saat itu. Sehingga mengakibatkan kegagalan yang luar biasa dalam penggunaan dana dan hancurnya lingkungan hidup.
Jelas tulisan ini tidak ingin menggurui para pembuat kebijakan publik di negeri Indonesia Raya yang tercinta ini yang pintar dan sangat pintar. Tulisan ini hanya berusaha mengingatkan kembali, agar jangan sampai kasus seperti diatas (yang sebenarnya masih banyak kasus pembangunan yang merusak lingkungan lainnya) terulang kembali. Dan berusaha mengingatkan akan pentingnya konsep Pembangunan Berkelanjutan yang memerhatikan ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga tidak menjadi Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan.
Dari berbagai sumber.
Istilah Pembangunan Berkelanjutan telah lama berdengung, demikian juga dengan Pembangunan Hijau. Kedua istilah ini sama-sama memiliki 3 faktor utama seperti di atas, hanya saja Pembangunan Hijau lebih mendahulukan Perbaikan Lingkungan. Dengan lingkungan yang lebih baik maka kemudian sumber daya tercukupi dengan pemenuhan ekonomi dan sosial. Pembangunan Hijau didengungkan karena kehancuran lingkungan yang sangat dahsyat sehingga memerlukan penangan dan perhatian khusus untuk memperbaiki, dimana lingkungan adalah merupakan sumber daya bagi manusia sekarang dan masa depan.
Konsep Pembangunan Berkelanjutan memang penuh dengan perdebatan sengit terutama tentang pengertian, faktor utama dan pendukung, teknik pelaksanaan sampai dengan pembelajaran kepada publik. Tetapi yang harus kita ambil sebenarnya pola pikir bahwa kita hidup bukan hanya untuk kita hari ini. Kita hidup juga untuk generasi penerus kita, keturunan kita. Bahkan ketika mengikut kuliah dengan (alm) Prof. Mubyarto sang pakar ekonomi kerakyatan di UGM Jogjakarta, beliau pun mengarahkan konsep Pembangunan Berkelanjutan kepada nilai-nilai agama. Bahwa tidak ada satu agama pun di muka bumi ini mengajarkan umatnya untuk menghancurkan alam. Menghancurkan alam sama saja menghancurkan diri sendiri.
Tetapi kenyataannya bahwa pembangunan di Indonesia tidaklah bisa menerapkan 100 persen konsep pembangunan berkelanjutan. Masih banyak kebijakan-kebijakan publik yang tidak memikirkan konsep pembangunan berkelanjutan. Banyak contoh yang ada dan akhirnya muncul ke permukaan karena tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Kebijakan publik di bidang kehutanan baik menyangkut penebangan dan pemanfaatan hutan alam, perlambatan perluasan hutan lindung, penindakan illegal logging sampai penangan kebakaran hutan.
Pemanfaatan dana reboisasi yang tidak jelas arah dan penggunaannya juga merupakan suatu hal yang membuat pembangunan yang tidak berkelanjutan. Ketika aku masih bekerja di sebuah bank swasta bagian back office (BO) yang menangani transfer uang, setiap hari ada saja perusahaan kayu di Riau menyetor Dana Reboisasi ke rekening khusus Menteri Kehutanan. Ini adalah prosedur legal atas pemanfaatan kayu yang telah ditebang. Yang menjadi temuan pemeriksa adalah jumlah yang disetor ternyata tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Kemudian tidak jelasnya pemanfaatan dana tersebut. Hal ini telah sering dikumandangkan dengan keras oleh organisasi non-profit/non-pemerintah (NGO/non-government organization).
Pada kasus Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PPLG) Sejuta Hektar sebagai usaha pemenuhan pangan teruatama beras, sebenarnya merupakan tujuan mulia. Tetapi jika dirunut ke belakang adalah bahwa lahan tersebut adalah lahan bekas HPH (Hak Pengusahaan Hutan) yang kosong dan ditumbuhi semak belukar dan pohon kecil. Nah, kenapa tidak menggunakan dana reboisasi untuk menghijaukan kembali lahan bekas HPH ini. Dana Reboisasi malahan dipakai untuk membangun lahan sawah di mega proyek Lahan Sejuta Hektar tersebut (Mega Rice Project). Dana APBN telah digunakan lebih dari 2 trilyun rupiah dan gagal karena melawan kodrat alam. PPLG Sejuta Hektar dilaksanakan berdasarkan Keppres 82 tahun 1995 tanggal 26 Desember 1995.
AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) pada proyek Lahan Sejuta Hektar disusun setelah proyek berjalan, sehingga tidak adanya analisa mendalam mengenai lingkungan baik flora maupun fauna. Beberapa NGO telah menyuarakan tentang perlunya peninjauan ulang atas proyek ini, tetapi terlambat diperhatikan oleh pembuat kebijakan publik saat itu. Sehingga mengakibatkan kegagalan yang luar biasa dalam penggunaan dana dan hancurnya lingkungan hidup.
Jelas tulisan ini tidak ingin menggurui para pembuat kebijakan publik di negeri Indonesia Raya yang tercinta ini yang pintar dan sangat pintar. Tulisan ini hanya berusaha mengingatkan kembali, agar jangan sampai kasus seperti diatas (yang sebenarnya masih banyak kasus pembangunan yang merusak lingkungan lainnya) terulang kembali. Dan berusaha mengingatkan akan pentingnya konsep Pembangunan Berkelanjutan yang memerhatikan ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga tidak menjadi Pembangunan Yang Tidak Berkelanjutan.
Dari berbagai sumber.