Memperlakukan Alam Bagai Manusia
Laporan PURNIMASARI, Bokor
purnimasari@riaupos.com
Kearifan puak Melayu memelihara alam sehingga lingkungan hidup di Riau telah lestari dalam rentangan ratusan tahun, adalah suatu hal yang layak diketahui. Semua itu berpunca pada pemakaian alam yang sebatas keperluan pribadi dan persukuan, tidak diolah massal dan cepat. Hari ini, dengan alasan modern, manusia telah melakukan pencemaran dan merusak alam dalam tempo beberapa tahun saja. Gundulnya hutan belantara, perairan tercemar, punahnya flora dan fauna bisa berbalik memberi ancaman pada umat manusia.
Bagaimana tetua puak Melayu memberi kearifan pada anak cucu dan kemenakannya agar menjaga dan memelihara alam lingkungan telah terkumpul dalam bidal, gurindam, pantun, talibun, syair, petatah-petitih, koba dan cogan-cogan kebijaksanaan yang jadi peneraju hidup dan penuntun berperilaku dalam tata nilai bagi orang Melayu. Ia penyelamat hidup, sekaligus penyelamat lingkungan itu sendiri.
Seperti ditulis UU Hamidy dalam bukunya Kearifan Puak Melayu Riau Memelihara Lingkungan Hidup (UIR Press, Januari 2001), kemampuan masyarakat adat Melayu memelihara lingkungan hidupnya, tak hanya sebatas memberi kemakmuran pada anak negeri. Budaya memakai lingkungan yang terkendali oleh adat (sehingga tak melampaui batas) telah membuat mereka punya kekayaan hutan tanah dengan flora fauna yang tak tepermanai nilainya. Ketika sumber-sumber itu diolah puak Melayu dengan panduan adat atau undang-undang yang islami dari kerajaan (di zaman dahulu), sejarah telah membuktikan, betapa negeri-negeri Melayu telah jadi daerah yang makmur dengan alam yang indah.
Masyarakat adat dengan norma-norma di bawah naungan lembaga adat yang dikemudikan pemangku adat ternyata mampu mengurus diri sendiri. Kesatuan masyarakat adat Melayu dalam bentuk kepenghuluan, pebatinan dan kenegerian ternyata dapat hidup sejahtera dengan memanfaatkan lingkungan alamnya.
Tetua Melayu masa silam sebenarnya punya pandangan yang jauh ke depan. Dengan membuat lingkungan hidup terpelihara, mereka telah menyelamatkan generasi di belakang. Mereka bukan orang yang egois, yang hanya memandang kepentingan dan kesenangan diri mereka. Dalam hal hutan tanah, pemangku adat Melayu telah membuat semacam tata ruang yang paling kurang ada empat bagian: rimba simpanan (rimba larangan), tanah kebun dan peladangan, rimba kepungan sialang dan tanah pekarangan. Dalam pemeliharaannya dipandu dengan bidal "kayu ditebang diganti kayu, rimba ditebang diganti rimba". Inilah ikhtiar merawat lingkungan yang tiada tandingannya.
Semua makhluk hidup mendapat tempat untuk hidup secara wajar dalam tata ruang masyarakat adat Melayu. Inilah kedaan semula jadi yang benar-benar bisa membuat orang merasa damai dan tenteram sebab semuanya adalah pancaran kasih sayang Tuhan yang bisa menggugah hati untuk memelihara baik-baik serta membuka jalan untuk bersyukur dan mengabdi pada Sang Khalik.
Orang Melayu tradisional telah memperlakukan alam bagaikan manusia, sehingga ada sentuhan emosi dalam hubungan manusia dengan alam. Agama memberi panduan hidup dan mati, adat mengawal hidup mulia, sedangkan resam (tradisi) membuat hubungan harmonis dengan alam. Ketika manusia menanggalkan itu semua, maka akan datang bencana. Semula terhadap lingkungan hidup tapi kemudian kerusakan itu berbalik mengancam manusia sendiri. Islam, adat dan resam adalah bingkai yang paling mangkus dalam pelestarian lingkungan alam.
Kini, hutan belantara puak Melayu telah tercabik-cabik dilanyau Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Hutan, tanah dan sungai yang selama ini jadi ‘gudang’ bahan baku kebudayaan Melayu telah dieksploitasi hingga punah-ranah dan mendatangkan bencana ekologis. Ia berlindung dalam modus kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan telah menjadi ‘jalan pedang’ bagi perusahaan-perusahaan besar. Kesatuan masyarakat adat yang pernah otonom dan indah itu kini berkecai. Sementara warga masyarakat adat jatuh miskin jadi kuli, suatu lapangan pekerjaan yang paling hina dalam pandangan orang patut (ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi) Melayu masa silam. Lembaga adat sudah lama disingkirkan dan pemangku adat sering diperalat untuk mengkhianati masyarakatnya sendiri.
Puak Melayu masa silam telah berbuat arif memelihara hutan tanah, daratan dan lautan. Jika kearifan itu tidak didedahkan, generasi budak-budak Melayu kini bisa salah paham, sehingga mereka beranggapan leluhur mereka adalah orang yang rakus dan ceroboh terhadap lingkungan, karena mereka lihat betapa rimba belantara dan lautan telah rusak binasa. Kearifan inilah yang seharusnya bisa jadi bahan bandingan, sumber gagasan dan bahan rencana bagi para pemimpin yang memang ingin meninggalkan jasa. Hanya dengan pemahaman yang memadai serupa itu, dapat dibuat perhitungan yang baik, sehingga masyarakat tidak makin tertindas.
Kita perlu pemimpin yang arif untuk menyelamatkan medan kehidupan dari bencana kerusakan lingkungan. Tanpa kearifan, manusia hanya dapat kesenangan semu. Pemimpin masyarakat adat puak Melayu masa silam telah memandang jabatan sebagai medan juang yang harus meninggalkan jasa untuk dikenang zuriat di kemudian hari. Sebagaimana kata Raja Ali Haji, pengarang Riau yang piawai itu dalam ikat gurindamnya, "hendaklah berjasa kepada yang sebangsa". Jika tidak, kearifan itu hanya akan hanyut dalam rangkaian pantun dan gurindam.
Kini, salah satu bukti kearifan lokal yang jenius itu masih bisa ditemukan di Bokor. Inilah saksi bagaimana Melayu membangun peradaban. Inilah spirit menjaga alam yang harus tetap digemuruhkan, jika Riau memang ditahbiskan sebagai salah satu paru-paru dunia. Inilah anugerah yang harus menjadi titik balik kita untuk kembali menghargai alam.
Menyelamatkan dunia dari Riau. Inilah obor dari Bokor. Suluh yang harus senantiasa dijaga apinya. Namun, jika para pemegang teraju kepemimpinan hanya berpikir sebatas kerongkongan, alamat padamlah ia. Maka, obor dari Bokor, jangan sampai teledor…***
Artikel lainnya :
Ekspedisi Hulu Sungai Bokor
Fiesta Bokor Riviera 2011
Desa Bokor Kecamatan Rangsang Barat
Herba Kembang Bokor
Peta Hutan Kabupaten Meranti Propinsi Riau
Tahun Baru Imlek di Selat Panjang
Bangunan Tua Kota Selatpanjang
Kearifan Lokal Memelihara Kampung di Pulau Ransang, Meranti : Obor dari Bokor
Unsur Mitos dalam Pelestarian Alam
Memperlakukan Alam Bagai Manusia
Laporan PURNIMASARI, Bokor
purnimasari@riaupos.com
Kearifan puak Melayu memelihara alam sehingga lingkungan hidup di Riau telah lestari dalam rentangan ratusan tahun, adalah suatu hal yang layak diketahui. Semua itu berpunca pada pemakaian alam yang sebatas keperluan pribadi dan persukuan, tidak diolah massal dan cepat. Hari ini, dengan alasan modern, manusia telah melakukan pencemaran dan merusak alam dalam tempo beberapa tahun saja. Gundulnya hutan belantara, perairan tercemar, punahnya flora dan fauna bisa berbalik memberi ancaman pada umat manusia.
Bagaimana tetua puak Melayu memberi kearifan pada anak cucu dan kemenakannya agar menjaga dan memelihara alam lingkungan telah terkumpul dalam bidal, gurindam, pantun, talibun, syair, petatah-petitih, koba dan cogan-cogan kebijaksanaan yang jadi peneraju hidup dan penuntun berperilaku dalam tata nilai bagi orang Melayu. Ia penyelamat hidup, sekaligus penyelamat lingkungan itu sendiri.
Seperti ditulis UU Hamidy dalam bukunya Kearifan Puak Melayu Riau Memelihara Lingkungan Hidup (UIR Press, Januari 2001), kemampuan masyarakat adat Melayu memelihara lingkungan hidupnya, tak hanya sebatas memberi kemakmuran pada anak negeri. Budaya memakai lingkungan yang terkendali oleh adat (sehingga tak melampaui batas) telah membuat mereka punya kekayaan hutan tanah dengan flora fauna yang tak tepermanai nilainya. Ketika sumber-sumber itu diolah puak Melayu dengan panduan adat atau undang-undang yang islami dari kerajaan (di zaman dahulu), sejarah telah membuktikan, betapa negeri-negeri Melayu telah jadi daerah yang makmur dengan alam yang indah.
Masyarakat adat dengan norma-norma di bawah naungan lembaga adat yang dikemudikan pemangku adat ternyata mampu mengurus diri sendiri. Kesatuan masyarakat adat Melayu dalam bentuk kepenghuluan, pebatinan dan kenegerian ternyata dapat hidup sejahtera dengan memanfaatkan lingkungan alamnya.
Tetua Melayu masa silam sebenarnya punya pandangan yang jauh ke depan. Dengan membuat lingkungan hidup terpelihara, mereka telah menyelamatkan generasi di belakang. Mereka bukan orang yang egois, yang hanya memandang kepentingan dan kesenangan diri mereka. Dalam hal hutan tanah, pemangku adat Melayu telah membuat semacam tata ruang yang paling kurang ada empat bagian: rimba simpanan (rimba larangan), tanah kebun dan peladangan, rimba kepungan sialang dan tanah pekarangan. Dalam pemeliharaannya dipandu dengan bidal "kayu ditebang diganti kayu, rimba ditebang diganti rimba". Inilah ikhtiar merawat lingkungan yang tiada tandingannya.
Semua makhluk hidup mendapat tempat untuk hidup secara wajar dalam tata ruang masyarakat adat Melayu. Inilah kedaan semula jadi yang benar-benar bisa membuat orang merasa damai dan tenteram sebab semuanya adalah pancaran kasih sayang Tuhan yang bisa menggugah hati untuk memelihara baik-baik serta membuka jalan untuk bersyukur dan mengabdi pada Sang Khalik.
Orang Melayu tradisional telah memperlakukan alam bagaikan manusia, sehingga ada sentuhan emosi dalam hubungan manusia dengan alam. Agama memberi panduan hidup dan mati, adat mengawal hidup mulia, sedangkan resam (tradisi) membuat hubungan harmonis dengan alam. Ketika manusia menanggalkan itu semua, maka akan datang bencana. Semula terhadap lingkungan hidup tapi kemudian kerusakan itu berbalik mengancam manusia sendiri. Islam, adat dan resam adalah bingkai yang paling mangkus dalam pelestarian lingkungan alam.
Kini, hutan belantara puak Melayu telah tercabik-cabik dilanyau Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Hutan, tanah dan sungai yang selama ini jadi ‘gudang’ bahan baku kebudayaan Melayu telah dieksploitasi hingga punah-ranah dan mendatangkan bencana ekologis. Ia berlindung dalam modus kebijakan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan telah menjadi ‘jalan pedang’ bagi perusahaan-perusahaan besar. Kesatuan masyarakat adat yang pernah otonom dan indah itu kini berkecai. Sementara warga masyarakat adat jatuh miskin jadi kuli, suatu lapangan pekerjaan yang paling hina dalam pandangan orang patut (ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi) Melayu masa silam. Lembaga adat sudah lama disingkirkan dan pemangku adat sering diperalat untuk mengkhianati masyarakatnya sendiri.
Puak Melayu masa silam telah berbuat arif memelihara hutan tanah, daratan dan lautan. Jika kearifan itu tidak didedahkan, generasi budak-budak Melayu kini bisa salah paham, sehingga mereka beranggapan leluhur mereka adalah orang yang rakus dan ceroboh terhadap lingkungan, karena mereka lihat betapa rimba belantara dan lautan telah rusak binasa. Kearifan inilah yang seharusnya bisa jadi bahan bandingan, sumber gagasan dan bahan rencana bagi para pemimpin yang memang ingin meninggalkan jasa. Hanya dengan pemahaman yang memadai serupa itu, dapat dibuat perhitungan yang baik, sehingga masyarakat tidak makin tertindas.
Kita perlu pemimpin yang arif untuk menyelamatkan medan kehidupan dari bencana kerusakan lingkungan. Tanpa kearifan, manusia hanya dapat kesenangan semu. Pemimpin masyarakat adat puak Melayu masa silam telah memandang jabatan sebagai medan juang yang harus meninggalkan jasa untuk dikenang zuriat di kemudian hari. Sebagaimana kata Raja Ali Haji, pengarang Riau yang piawai itu dalam ikat gurindamnya, "hendaklah berjasa kepada yang sebangsa". Jika tidak, kearifan itu hanya akan hanyut dalam rangkaian pantun dan gurindam.
Kini, salah satu bukti kearifan lokal yang jenius itu masih bisa ditemukan di Bokor. Inilah saksi bagaimana Melayu membangun peradaban. Inilah spirit menjaga alam yang harus tetap digemuruhkan, jika Riau memang ditahbiskan sebagai salah satu paru-paru dunia. Inilah anugerah yang harus menjadi titik balik kita untuk kembali menghargai alam.
Menyelamatkan dunia dari Riau. Inilah obor dari Bokor. Suluh yang harus senantiasa dijaga apinya. Namun, jika para pemegang teraju kepemimpinan hanya berpikir sebatas kerongkongan, alamat padamlah ia. Maka, obor dari Bokor, jangan sampai teledor…***
Artikel lainnya :
Ekspedisi Hulu Sungai Bokor
Fiesta Bokor Riviera 2011
Desa Bokor Kecamatan Rangsang Barat
Herba Kembang Bokor
Peta Hutan Kabupaten Meranti Propinsi Riau
Tahun Baru Imlek di Selat Panjang
Bangunan Tua Kota Selatpanjang
Kearifan Lokal Memelihara Kampung di Pulau Ransang, Meranti : Obor dari Bokor
Unsur Mitos dalam Pelestarian Alam
Memperlakukan Alam Bagai Manusia