Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi
Ketika buldozer merambah masuk ke jalan-jalan kampung menuju hutan rimba, para petinggi kehutanan di Jakarta tertawa renyah dengan bergepok uang di tangan. Para pengusaha hutan tertawa girang meraup uang dari jalaran akar, tegaknya pohon, lenturnya ranting, lambaian daun dan semilir angin sejuk dari hutan. Dengan alasan menumbuhkan ekonomi rakyat, mereka merajalela masuk hutan keluar hutan. Menghancurkan tetumbuhan, menghancurkan tanah, menghancurkan alam.
Kini hutan Indonesia terutama hutan Sumatera semakin menipis. Hutan rawa gambut terluaspun di Semenanjung Kampar telah punah ranah karena adanya SURAT SAKTI dari PARA BADUT-BADUT Pemerintah Pusat yang tidak mengetahui bahwa gambut tersebut memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Mereka menutup mata.
Para aktifis pelindung alam malah dianggap sebagai suatu momok yang mengganggu, bahkan dianggap sebagai kejahatan.
Ketika aksi dilakukan dengan sedikit keras, ditangkapi polisi.
Aku kecewa.
Kenapa ketika pengusaha HPH melanggar batas hutan tidak ditangkapi polisi?
APAKAH POLISI tersebut BODOH, dan mau kerja enak aja ga perlu susah-susah masuk hutan.
Aku kecewa.
Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Dengan HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu...
Oh mengapa.....
Oh...oh...ooooo......
Jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja
Oh...oh...ooooo......
Jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
(Iwan Fals)
Ketika buldozer merambah masuk ke jalan-jalan kampung menuju hutan rimba, para petinggi kehutanan di Jakarta tertawa renyah dengan bergepok uang di tangan. Para pengusaha hutan tertawa girang meraup uang dari jalaran akar, tegaknya pohon, lenturnya ranting, lambaian daun dan semilir angin sejuk dari hutan. Dengan alasan menumbuhkan ekonomi rakyat, mereka merajalela masuk hutan keluar hutan. Menghancurkan tetumbuhan, menghancurkan tanah, menghancurkan alam.
Kini hutan Indonesia terutama hutan Sumatera semakin menipis. Hutan rawa gambut terluaspun di Semenanjung Kampar telah punah ranah karena adanya SURAT SAKTI dari PARA BADUT-BADUT Pemerintah Pusat yang tidak mengetahui bahwa gambut tersebut memiliki kedalaman lebih dari 3 meter. Mereka menutup mata.
Para aktifis pelindung alam malah dianggap sebagai suatu momok yang mengganggu, bahkan dianggap sebagai kejahatan.
Ketika aksi dilakukan dengan sedikit keras, ditangkapi polisi.
Aku kecewa.
Kenapa ketika pengusaha HPH melanggar batas hutan tidak ditangkapi polisi?
APAKAH POLISI tersebut BODOH, dan mau kerja enak aja ga perlu susah-susah masuk hutan.
Aku kecewa.
Raung buldozer gemuruh pohon tumbang
Berpadu dengan jerit isi rimba raya
Tawa kelakar badut-badut serakah
Dengan HPH berbuat semaunya
Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu...
Oh mengapa.....
Oh...oh...ooooo......
Jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
Lestarikan hutan hanya celoteh belaka
Lestarikan hutan mengapa tidak dari dulu saja
Oh...oh...ooooo......
Jelas kami kecewa
Mendengar gergaji tak pernah berhenti
Demi kantong pribadi
Tak ingat rejeki generasi nanti
Bencana erosi selalu datang menghantui
Tanah kering kerontang
Banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia
(Iwan Fals)