Nasib Harimau Sumatera di Bumi Lancang Kuning merupakan 3 tulisan Theo Rizky yang dimuat di Koran Harian Tribun Pekanbaru dari tanggal 28-29-30 September 2011 di halaman 12. Tulisan ini mengenai konflik manusia dengan Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae). Harimau jenis ini merupakan harimau yang hampir punah di Indonesia setelah terjadinya kepunahan Harimau Bali dan Harimau Jawa. Semoga tulisan ini makin membuka mata kita agar lebih memedulikan lingkungan hidup.
TURUT MENDUKUNG TUR EKSPEDISI MATA HARIMAU GREENPEACE
Sangat menyayangkan tindakan pemerintah RI yang menolak Greenpeace masuk ke Indonesia karena tidak kuat dikritik oleh Greenpeace atas tindakan sembrono pemerintah Indonesia dalam pengelolaan hutan (kesemrawutan pengelolaan hutan Indonesia).
Tulisan Pertama
Bila penasaran melihat bentuk asli si raja hutan, silakan datang ke Museum Sang Nila Utama, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Di sana terdapat beberapa ekor harimau sumatera yang telah diawetkan, panjangnya dari kepala hingga ekor mencapai 2,5 meter lebih, dengan bobot sekitar 140 kg. Melihat ukurannya yang luar biasa, tak heran jika koleksi tersebut selalu menjadi perhatian utama pengunjung museum.
“Itu harimau tahun 1970-an. Sekarang kita tak akan menemukan yang sebesar itu lagi,” ujar seorang teman dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang Lingkungan hidup, Senin (25/9 lalu.
Miris mendengarnya. Namun bukan berita yang baru lagi kalau kucing besar dunia ini berada di ambang pintu kepunahan. Penurunan populasinya begitu cepat, secepat pengalihfungsian habitatnya, hutan, menjadi permukiman, perkebunan, bahkan perambahan dengan dalih kepentingan ekonomi.
Berdasarkan data dari lembaga lingkungan hidup, Eyes on The Forest, pada 1982 terdapat 78 persen hutan alam yang menutupi daratan Provinsi Riau. Selang 22 tahun kemudian, 2004 berkurang drastis menjadi 36 persen.
Dengan kegiatan deforestasi yang tidak terbendung, diprediksi pada 2015 hutan alam di Riau hanya akan tersisa sekitar enam persen. Bila penurunan rumah dan habitat harimau ini terus terjadi, diperkirakan satwa langka yang mungkin hanya tersisa sekitar 300-an itu akan punah selama-lamanya di alam bebas pada 2020 mendatang.
Species Specialist World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto belum lama, mengatakan, keistimewaan Provinsi Riau yang dilintasi garis khatulistiwa ternyata menjadi tantangan terbesar dalam menyelamatkan populasi Harimau Sumatera. “Garis khatulistiwa membuat sawit bias ditanam secara ekonomis, Riau lah salah satu tempatnya. Akasia juga begitu, tujuh tahun sudah bisa dipanen berbeda dengan Negara lain yang membutuhkan waktu 25 tahun, ini karena energi matahari yang begitu banyak,” katanya.
Menurut Sunarto, perlu ada komitmen yang jauh lebih kuat agar harimau sumatera bisa bertahan untuk jangka waktu panjang.
Tulisan Kedua
Akasia setidaknya membutuhkan waktu selama tujuh tahun untuk bisa dipanen. Sedangkan, tanaman industri lainnya butuh waktu 25 tahun, karena energi matahari tak begitu banyak. Species Specialist World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto, mengatakan, perlu komitmen yang jauh lebih kuat agar harimau sumatera lestari untuk jangka panjang.
“Bukan hanya jumlah individu yang penting, tapi juga bagaimana interaksinya satu dengan yang lain. Ini masalah besar di Riau khususnya dan Sumatera umumnya soal fragmentasi. Ada populasi-polusi yang mulai terisolir satu dengan lain,” tuturnya saat memberikan masukan jelang Media Trip yang diselenggarakan antara Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dengan Greenpeace, pertengahan September 2011 lalu.
Sunarto menjelaskan, walaupun harimau sumatera, tapi satu dengan yang lain terisolir dan tidak bisa saling ketemu ini, sama saja percuma. Ia mengatakan, harimau merupakan indikator, menandakan ekosistem di sebuah kawasan masih cukup sehat kalau mereka bias hidup untuk jangka panjang.
“Ketika itu tidak, ya sebenarnya yang terancam adalah manusia sendiri,” kata Sunarto memberikan alas an masuk akal.
Akibatnya, tutur peraih gelar doktor dengan spesialisasi harimau sumatera ini, dalam kurun satu dekade terakhir, Riau memegang catatan intensitas konflik harimau dengan manusia yang paling tinggi di Sumatera.
Di antaranya sering terjadi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), tepatnya di perkampungan dan perkebunan yang berbatasan langsung dengan Hutan Senepis. Dari tahun 2000-2010 sedikitnya empat kasus penyerangan harimau terhadap manusia masih lekang diingat warga setempat.
Dari penyerangan raja hutan itu, dua diantaranya terpaksa meregang nyawa. Untuk melihat langsung habitat harimau di Hutan Senepis yang mempunyai luas 106.081 hektare butuh waktu dua jam menggunakan kendaraan roda empat darin pusat kota Rohil, Bagan Siapi-api menuju pintu masuk Hutan Senepis di Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Rohil.
Tulisan Ketiga
Dalam kurun satu dekade terakhir, Riau memegang catatan intensitas konflik harimau dengan manusia paling tinggi di Sumatra. Di antaranya sering terjadi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), tepatnya di perkampungan dan perkebunan yang berbatasan langsung dengan hutan Senepis.
Ingatan warga yang tinggal di sekitar hutan Senepis masih kuat saat menceritakan sudah beberapa kali harimau Sumatra terpaksa keluar dari habitatnya untuk mencari makan dengan cara menyerang manusia.
Dari tahun 2000-2010, sedikitnya empat kasus penyerangan harimau, dua di antaranya terpaksa meregang nyawa. Padahal hutan Senepis memiliki luas 106.081 hektare. Butuh waktu dua jam menggunakan kendaraan roda empat dari pusat kota Rohil menuju pintu masuk Hutan Senepis di Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Rohil.
Melewati jalan tanah kuning berlubang dan perkebunan sawit di kanan-kirinya, perjalanan juga diteruskan dengan mengarungi kanal selama satu jam menggunakan perahu bermesin atau lebih dikenal dengan pompong.
Tak berapa lama perjalanan, ternyata hutan rawa gambut yang dicadangkan sebagai suaka margasatwa pusat konservasi Harimau Sumatra tersebut terlihat jauh dari kesan hutan sejatinya.
Saat melewati kanal, sengatan matahari seakan tidak terfilter, tidak ada pohon rindang yang menemani. Kadang-kadang, kepala harus merunduk untuk menghindari ranting mati yang melintang, pompong juga terkadang membentur potongan kayu mengambang.
Tidak ada suara binatang sedikitpun, hanya deru suara mesin perahu yang melawan arus. Kiri kanan pemandangannya kontras sekali dari sebutan hutan, tandus tanpa ada pepohonan sejauh mata memandang.
Lahan gambut juga terlihat pecah-pecah karena kepanasan. Namun bila tidak berhati-hati melangkah, kaki akan terperosok seperti menginjak lumpur. Tarmizi (57), warga tempatan mengatakan,kanal selebar empat meter tersebut dibuat oleh warga pada tahun 1998 dan dibantu toke-toke pengumpul kayu yang kini terjerat kasus illegal loging.
”Ini warga yang bikin, tapi kalau itu perusahaan,” katanya sambil menunjuk ke arah barat, saat posisi pompong menemui simpang empat kanal yang lebarnya tiga kali lipat.
Kanal selebar 12 meter yang dibuat perusahaan tersebut diberi pembatas, ditutup menggunakan gundukan tanah seperti didam. ”Ini supaya warga tak bisa masuk,” kata Tarmizi.
Dijelaskannya, sering terjadi konflik antara warga tempatan dan pemegang hak konsesi terkait tapal batas dikawasan tersebut, warga ingin menggunakan lahan untuk bertanam sawit sementara pihak perusahaan menanam aksia. ”Dulu pernah bibit-bibit akasianya dicabut warga,” jelasnya.
Kepala penghulu, Desa Jumrah kec Rimba Melintang, Rohil, Sukardi Ahmad sebelumnya memang sudah menceritakan kondisi Hutan Senepis.
”Dari Rohil hingga Dumai sudah tidak ada lagi hutan, ada yang berubah jadi akasia, ada juga hanya di tebang begitu saja,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kepenghuluan.
Sukardi mengatakan, harimau tidak mau berada di lahan akasia. ”Pohonnya beracun, burung saja tak mau tidur di atas akasia itu,” ujarnya seraya mengatakan, karena itu harimau terdesak dan berpindah tempat masuk ke kawasan manusia. ”Yaitu daerah kami ini, dan ketika warga menyadap karet, di situlah titik temunya,”
Seorang warga lokal bernama Syafri (53) yang juga memandu perjalanan menuturkan hal senada. ”Sejak dibuka PT, mulailah harimau mengacau, anjing-anjing lewat pun dimakan,” katanya.
Syafri merupakan korban keganasan harimau sekitar empat tahun silam. Kejadiannya pukul 03.00 WIB dini hari, saat ia tidur disebuah gubuk kawasan hutan pematang, Sarang Elang, Desa Jumroh, Kec Rimba Melintang, Rohil.
Tiba-tiba kaki kanannya digigit dan ditarik harimau sejauh 50 meter. Namun Syafri beruntung.
”Ketemu pohon besar, aku pegang pohon, waktu harimau tu diam, lengah, aku tunjang rahang harimau tu, lari aku ke pondok tempat kawan-kawan ku,” kisahnya menceritakan bagaimana ia selamat dari cengkraman si raja hutan.
Cerita Syafri hanyalah potrait kecil dari banyaknya konflik antara harimau dengan manusia, ketika habitat harimau yang merupakan hutan alam sudah tercabik-cabik, dieksploitas hingga melebihi ambang batas kewajaran.
Tak aneh jika interaksi pertemuan akan meningkat, dan terkadang menciptakan pengalaman-penglaman buruk yang mungkin akan terus terjadi atau akan berhenti saat harimau tidak tersisa lagi.
Bagaimanapun juga, nasib predator terbesar didarat ini setelah kejayaan Dinosourus berada di tangan manusia, makhluk barakal yang memiliki kemampuan memelihara,memperbaiki, bahkan menghancurkan.
Tak banyak pilihan memang, apakah akan memposisikan harimau sebagai satwa yang selalu harus lestari, atau hanya meletakkannya pada jejak sejarah dan berakhir di balik kaca-kaca museum.
MEMBUNUH ATAU DIBUNUH
Korban Manusia
●9 agustus 2010 Desa Jumroh, Kec Rimba Melintang Kab Rohil, korban 1 tewas
●20 september 2010 Dusun Air Raja, Kab Bengkalis, korban 1 tewas
●26 Juni 2011 Desa Teluk Lanus Kec Sungai Apit, Kab Siak, korban 1 tewas, 2 luka-luka
●10 September 2011 Kawasan Lahan PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa Kab Inhil, korban 1 tewas, 6 luka-luka
Korban Harimau
●3 Maret 2010 Desa Sungai Rabit Kab Inhil, korban 1 ekor terjerat
●Agustus 2010 Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rohil, korban 1 ekor terjerat
●30 September 2010 Desa Tanjung Leban, Kec Sepahat, Kabupaten Bengkalis, korban 1 ekor terjerat
●1 Juli 2011 Lahan Konsesi PT Arara Abadi, Kabupaten Pelalawan, korban 1 ekor terjerat
Tidak diketahui jumlah harimau sumatera di SM Kerumutan (120.000 ha)
Tidak diketahui jumlah harimau sumatera di TN Tesso Nilo (233.200 ha)
Tidak diketahui jumlah harimau sumatera di SM Bukit Rimbang Baling (136.000 ha)
21 s/d 42 ekor harimau Sumatera di Hutan Senepis (106.000 ha)
Sumber : WWF
Gambar dari Kompas.com
TURUT MENDUKUNG TUR EKSPEDISI MATA HARIMAU GREENPEACE
Sangat menyayangkan tindakan pemerintah RI yang menolak Greenpeace masuk ke Indonesia karena tidak kuat dikritik oleh Greenpeace atas tindakan sembrono pemerintah Indonesia dalam pengelolaan hutan (kesemrawutan pengelolaan hutan Indonesia).
Berpacu Punah dengan Penambahan Hutan
Nasib Harimau Sumatera di Bumi Lancang KuningTulisan Pertama
Bila penasaran melihat bentuk asli si raja hutan, silakan datang ke Museum Sang Nila Utama, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru. Di sana terdapat beberapa ekor harimau sumatera yang telah diawetkan, panjangnya dari kepala hingga ekor mencapai 2,5 meter lebih, dengan bobot sekitar 140 kg. Melihat ukurannya yang luar biasa, tak heran jika koleksi tersebut selalu menjadi perhatian utama pengunjung museum.
“Itu harimau tahun 1970-an. Sekarang kita tak akan menemukan yang sebesar itu lagi,” ujar seorang teman dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang Lingkungan hidup, Senin (25/9 lalu.
Miris mendengarnya. Namun bukan berita yang baru lagi kalau kucing besar dunia ini berada di ambang pintu kepunahan. Penurunan populasinya begitu cepat, secepat pengalihfungsian habitatnya, hutan, menjadi permukiman, perkebunan, bahkan perambahan dengan dalih kepentingan ekonomi.
Berdasarkan data dari lembaga lingkungan hidup, Eyes on The Forest, pada 1982 terdapat 78 persen hutan alam yang menutupi daratan Provinsi Riau. Selang 22 tahun kemudian, 2004 berkurang drastis menjadi 36 persen.
Dengan kegiatan deforestasi yang tidak terbendung, diprediksi pada 2015 hutan alam di Riau hanya akan tersisa sekitar enam persen. Bila penurunan rumah dan habitat harimau ini terus terjadi, diperkirakan satwa langka yang mungkin hanya tersisa sekitar 300-an itu akan punah selama-lamanya di alam bebas pada 2020 mendatang.
Species Specialist World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto belum lama, mengatakan, keistimewaan Provinsi Riau yang dilintasi garis khatulistiwa ternyata menjadi tantangan terbesar dalam menyelamatkan populasi Harimau Sumatera. “Garis khatulistiwa membuat sawit bias ditanam secara ekonomis, Riau lah salah satu tempatnya. Akasia juga begitu, tujuh tahun sudah bisa dipanen berbeda dengan Negara lain yang membutuhkan waktu 25 tahun, ini karena energi matahari yang begitu banyak,” katanya.
Menurut Sunarto, perlu ada komitmen yang jauh lebih kuat agar harimau sumatera bisa bertahan untuk jangka waktu panjang.
Si Belang Jadi Penanda Kerusakan Hutan
Nasib Harimau Sumatera di Bumi Lancang KuningTulisan Kedua
Akasia setidaknya membutuhkan waktu selama tujuh tahun untuk bisa dipanen. Sedangkan, tanaman industri lainnya butuh waktu 25 tahun, karena energi matahari tak begitu banyak. Species Specialist World Wildlife Foundation (WWF), Sunarto, mengatakan, perlu komitmen yang jauh lebih kuat agar harimau sumatera lestari untuk jangka panjang.
“Bukan hanya jumlah individu yang penting, tapi juga bagaimana interaksinya satu dengan yang lain. Ini masalah besar di Riau khususnya dan Sumatera umumnya soal fragmentasi. Ada populasi-polusi yang mulai terisolir satu dengan lain,” tuturnya saat memberikan masukan jelang Media Trip yang diselenggarakan antara Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dengan Greenpeace, pertengahan September 2011 lalu.
Sunarto menjelaskan, walaupun harimau sumatera, tapi satu dengan yang lain terisolir dan tidak bisa saling ketemu ini, sama saja percuma. Ia mengatakan, harimau merupakan indikator, menandakan ekosistem di sebuah kawasan masih cukup sehat kalau mereka bias hidup untuk jangka panjang.
“Ketika itu tidak, ya sebenarnya yang terancam adalah manusia sendiri,” kata Sunarto memberikan alas an masuk akal.
Akibatnya, tutur peraih gelar doktor dengan spesialisasi harimau sumatera ini, dalam kurun satu dekade terakhir, Riau memegang catatan intensitas konflik harimau dengan manusia yang paling tinggi di Sumatera.
Di antaranya sering terjadi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), tepatnya di perkampungan dan perkebunan yang berbatasan langsung dengan Hutan Senepis. Dari tahun 2000-2010 sedikitnya empat kasus penyerangan harimau terhadap manusia masih lekang diingat warga setempat.
Dari penyerangan raja hutan itu, dua diantaranya terpaksa meregang nyawa. Untuk melihat langsung habitat harimau di Hutan Senepis yang mempunyai luas 106.081 hektare butuh waktu dua jam menggunakan kendaraan roda empat darin pusat kota Rohil, Bagan Siapi-api menuju pintu masuk Hutan Senepis di Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Rohil.
Tersingkir di Dalam Kaca-kaca Musium
Nasib Harimau Sumatera di Bumi Lancang KuningTulisan Ketiga
Dalam kurun satu dekade terakhir, Riau memegang catatan intensitas konflik harimau dengan manusia paling tinggi di Sumatra. Di antaranya sering terjadi di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), tepatnya di perkampungan dan perkebunan yang berbatasan langsung dengan hutan Senepis.
Ingatan warga yang tinggal di sekitar hutan Senepis masih kuat saat menceritakan sudah beberapa kali harimau Sumatra terpaksa keluar dari habitatnya untuk mencari makan dengan cara menyerang manusia.
Dari tahun 2000-2010, sedikitnya empat kasus penyerangan harimau, dua di antaranya terpaksa meregang nyawa. Padahal hutan Senepis memiliki luas 106.081 hektare. Butuh waktu dua jam menggunakan kendaraan roda empat dari pusat kota Rohil menuju pintu masuk Hutan Senepis di Desa Jumrah, Kecamatan Rimba Melintang, Rohil.
Melewati jalan tanah kuning berlubang dan perkebunan sawit di kanan-kirinya, perjalanan juga diteruskan dengan mengarungi kanal selama satu jam menggunakan perahu bermesin atau lebih dikenal dengan pompong.
Tak berapa lama perjalanan, ternyata hutan rawa gambut yang dicadangkan sebagai suaka margasatwa pusat konservasi Harimau Sumatra tersebut terlihat jauh dari kesan hutan sejatinya.
Saat melewati kanal, sengatan matahari seakan tidak terfilter, tidak ada pohon rindang yang menemani. Kadang-kadang, kepala harus merunduk untuk menghindari ranting mati yang melintang, pompong juga terkadang membentur potongan kayu mengambang.
Tidak ada suara binatang sedikitpun, hanya deru suara mesin perahu yang melawan arus. Kiri kanan pemandangannya kontras sekali dari sebutan hutan, tandus tanpa ada pepohonan sejauh mata memandang.
Lahan gambut juga terlihat pecah-pecah karena kepanasan. Namun bila tidak berhati-hati melangkah, kaki akan terperosok seperti menginjak lumpur. Tarmizi (57), warga tempatan mengatakan,kanal selebar empat meter tersebut dibuat oleh warga pada tahun 1998 dan dibantu toke-toke pengumpul kayu yang kini terjerat kasus illegal loging.
”Ini warga yang bikin, tapi kalau itu perusahaan,” katanya sambil menunjuk ke arah barat, saat posisi pompong menemui simpang empat kanal yang lebarnya tiga kali lipat.
Kanal selebar 12 meter yang dibuat perusahaan tersebut diberi pembatas, ditutup menggunakan gundukan tanah seperti didam. ”Ini supaya warga tak bisa masuk,” kata Tarmizi.
Dijelaskannya, sering terjadi konflik antara warga tempatan dan pemegang hak konsesi terkait tapal batas dikawasan tersebut, warga ingin menggunakan lahan untuk bertanam sawit sementara pihak perusahaan menanam aksia. ”Dulu pernah bibit-bibit akasianya dicabut warga,” jelasnya.
Kepala penghulu, Desa Jumrah kec Rimba Melintang, Rohil, Sukardi Ahmad sebelumnya memang sudah menceritakan kondisi Hutan Senepis.
”Dari Rohil hingga Dumai sudah tidak ada lagi hutan, ada yang berubah jadi akasia, ada juga hanya di tebang begitu saja,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kepenghuluan.
Sukardi mengatakan, harimau tidak mau berada di lahan akasia. ”Pohonnya beracun, burung saja tak mau tidur di atas akasia itu,” ujarnya seraya mengatakan, karena itu harimau terdesak dan berpindah tempat masuk ke kawasan manusia. ”Yaitu daerah kami ini, dan ketika warga menyadap karet, di situlah titik temunya,”
Seorang warga lokal bernama Syafri (53) yang juga memandu perjalanan menuturkan hal senada. ”Sejak dibuka PT, mulailah harimau mengacau, anjing-anjing lewat pun dimakan,” katanya.
Syafri merupakan korban keganasan harimau sekitar empat tahun silam. Kejadiannya pukul 03.00 WIB dini hari, saat ia tidur disebuah gubuk kawasan hutan pematang, Sarang Elang, Desa Jumroh, Kec Rimba Melintang, Rohil.
Tiba-tiba kaki kanannya digigit dan ditarik harimau sejauh 50 meter. Namun Syafri beruntung.
”Ketemu pohon besar, aku pegang pohon, waktu harimau tu diam, lengah, aku tunjang rahang harimau tu, lari aku ke pondok tempat kawan-kawan ku,” kisahnya menceritakan bagaimana ia selamat dari cengkraman si raja hutan.
Cerita Syafri hanyalah potrait kecil dari banyaknya konflik antara harimau dengan manusia, ketika habitat harimau yang merupakan hutan alam sudah tercabik-cabik, dieksploitas hingga melebihi ambang batas kewajaran.
Tak aneh jika interaksi pertemuan akan meningkat, dan terkadang menciptakan pengalaman-penglaman buruk yang mungkin akan terus terjadi atau akan berhenti saat harimau tidak tersisa lagi.
Bagaimanapun juga, nasib predator terbesar didarat ini setelah kejayaan Dinosourus berada di tangan manusia, makhluk barakal yang memiliki kemampuan memelihara,memperbaiki, bahkan menghancurkan.
Tak banyak pilihan memang, apakah akan memposisikan harimau sebagai satwa yang selalu harus lestari, atau hanya meletakkannya pada jejak sejarah dan berakhir di balik kaca-kaca museum.
MEMBUNUH ATAU DIBUNUH
Korban Manusia
●9 agustus 2010 Desa Jumroh, Kec Rimba Melintang Kab Rohil, korban 1 tewas
●20 september 2010 Dusun Air Raja, Kab Bengkalis, korban 1 tewas
●26 Juni 2011 Desa Teluk Lanus Kec Sungai Apit, Kab Siak, korban 1 tewas, 2 luka-luka
●10 September 2011 Kawasan Lahan PT Mutiara Sabuk Khatulistiwa Kab Inhil, korban 1 tewas, 6 luka-luka
Korban Harimau
●3 Maret 2010 Desa Sungai Rabit Kab Inhil, korban 1 ekor terjerat
●Agustus 2010 Kecamatan Rimba Melintang, Kabupaten Rohil, korban 1 ekor terjerat
●30 September 2010 Desa Tanjung Leban, Kec Sepahat, Kabupaten Bengkalis, korban 1 ekor terjerat
●1 Juli 2011 Lahan Konsesi PT Arara Abadi, Kabupaten Pelalawan, korban 1 ekor terjerat
Jumlah Populasi Harimau Sumatera
136 ekor harimau sumatera di TN Bukit Tiga Puluh (144.233 ha)Tidak diketahui jumlah harimau sumatera di SM Kerumutan (120.000 ha)
Tidak diketahui jumlah harimau sumatera di TN Tesso Nilo (233.200 ha)
Tidak diketahui jumlah harimau sumatera di SM Bukit Rimbang Baling (136.000 ha)
21 s/d 42 ekor harimau Sumatera di Hutan Senepis (106.000 ha)
Sumber : WWF
Gambar dari Kompas.com